Sejarah Keistimewaan Yogyakarta
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer
sebagaimana kerajaan Mataram.
Seorang pegawai pemerintah juga merupakan
seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan
karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka
harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan
pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan
abdi Dalem Prajurit.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja
yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula
paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para
penguasa di Manca Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di
Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan
merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja
yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang
lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta
pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan
pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810
dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada
1812.
Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi
birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh
memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya
untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
|
Naskah Perjanjian Giyanti image by http://www.kerajaannusantara.com |
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro pada tahun 1830.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan,
Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan
persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk
senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia
Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan
Yogyakarta dapat membentuk
Polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942,
untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang pasifik Sultan
membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam
perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus
1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI,
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII
mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan
Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik
Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah
Daerah Istimewa Yogyakarta
yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku
Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
|
Sastra Tulisan Kanjeng Kyai Serat Babad Mataram image by http://www.kerajaannusantara.com |
Pada tahun 1950 secara resmi
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi
Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma menjadi
pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana
kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan
Yogyakarta.
Sri Sultan HB IX (Nagari Ngayogjokarto) Membayari Gaji Republik Indonesia
Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam
Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI
masih tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah
yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan
umum. Sedangkan menurut Pak Harto, beliau baru bertemu Sultan malah
setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari
istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak
mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.
Catatan dari jogjakartaheart: sesungguhnya
Soeharto dan
SBY itu hampir sama kalo soeharto membangun citra agar bisa jadi President dengan Memutar balikan sejarah termasuk di dlmnya
SUPERSEMAR, kalo
SBY jadi
Presiden tidak tau sejarah dan masalah dlm membangun citra tentunya
anda semua sudah lebih tau dari saya. Dan menurut Para Pelaku sejarah di
Yogyakarta sesungguhnya Soeharto itu waktu perang kemerdekaan adalah
Prajurit yang takut Perang dan banyak bersembunyi tatkala terjadi kontak
senjata dengan Belanda.
|
Sri Sultan Hamengkubuwana IX Image by jogjakartaheart |
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet
yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah
ialah
Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden.
Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk
dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun,
ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah
karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di
Amsterdam, Belanda pada tahun 1938 Minggu malam 2 Oktober 1988, ia wafat
di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan
dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten
Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia. Sultan Hamengku Buwana IX tercatat
sebagai Gubernur terlama yang
menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta
terlama antara 1940-1988.
Sumber :
http://jogjakartaheart-fendyblog.blogspot.com/2012/07/hubungan-negara-yogyakarta-dengan.html